Mempersiapkan Penjelajahan Ke Luar Angkasa, Dari Bumi
Untuk melakukan penjelajahan di bumi, faktor-faktor seperti arah, posisi, dan cuaca merupakan faktor yang penting saat mempersiapkan perjalanan. Dengan menggunakan sistem navigasi dan peta, serta ramalan cuaca yang akurat hingga 2 derajat per harinya[1], kita dapat mempersiapkan rute perjalanan kita untuk mendatangi lokasi yang kita inginkan di permukaan bumi, dalam kondisi perjalanan yang terbaik. Di bumi saja, kita terbiasa untuk mempersiapkan perjalanan kita, untuk melakukan penjelajahan ke luar angkasa, di tata surya kita, bahkan di alam semesta, dunia yang misterius dan jauh berbeda kondisinya dengan bumi kita, tentu jauh lebih banyak data dan persiapan yang dibutuhkan.

Bukan persiapan seperti ini (simonemadeit.com)
Posisi dan Arah
Di permukaan bumi, kita biasa menentukan posisi dengan menggunakan sistem koordinat geosentris, yaitu penentuan tempat menggunakan bujur dan lintang, menggunakan patokan titik nol yang sama, sehingga kita dapat menuju ke lokasi
tujuan dan kembali ke tempat asal. Ketinggian tempat juga dapat ditentukan, yaitu tinggi dari “permukaan laut” yang dihitung dari pusat gravitasi bumi. Dalam melakukan penejelajahan keluar menjauhi bumi, sistem koordinat geosentris tentu saja tidak dapat tetap kita gunakan.
Stasiun Luar Angkasa Internasional ISS (International Space Station), misalnya, menggunakan beberapa sistem standar posisi, seperti posisi berdasarkan kerangka badan stasiun (body frame) yang menyatakan posisi kartesian berdasarkan bagian-bagian stasiun, seperti posisi dari dek, posisi XYZ dari titik pusat massa stasiun untuk posisi keseluruhan di sistem stasiun, dan menyatakan posisi stasiun dari bumi secara lebih presisi menggunakan kerangka referensi yang dinamakan kerangka J2000 atau menggunakan Sistem Referensi Angkasa Internasional ICRS (International Celestial Reference System) yang berpusat di bumi [2]. Untuk objek-objek yang masih berada dalam pengaruh gravitasi bumi, posisi objek-objek tersebut terhadap bumi dapat dinyatakan dengan akurat dengan menggunakan sistem ini.
Lepas dari gravitasi bumi, kerangka referensi pesawat luar angkasa akan mengikuti sistem dari objek langit yang gravitasinya mempengaruhi pesawat luar angkasa tersebut. Posisi sebuah objek yang telah meninggalkan pengaruh gravitasi bumi, akan dinyatakan kerangka referensi yang berpusat pada Matahari. Kerangka ini juga digunakan untuk planet, asteroid, dan objek-objek lain yang ada di tata surya kita, dan juga objek di luar tata surya kita dalam pengamatannya dari tata surya kita. Bila objek tersebut berada di dalam sistem gravitasi sebuah objek, posisi dari objek tersebut akan dinyatakan berdasarkan objek pemberi pengaruh gravitasi. Posisi dari pesawat luar angkasa Mars Reconnaissance Orbiter (MRO) dan juga posisi dari salah satu satelit Mars, Phobos, misalnya, dapat dinyatakan dalam sistem referensi J2000 yang berpusat di planet Mars.
Untuk dapat melakukan perjalanan luar angkasa, arah merupakan faktor yang sangat penting. Di bumi salah satu cara yang sudah dilakukan sejak jaman nenek moyang kita untuk menentukan arah adalah menggunakan konstelasi bintang yang berjumlah 88. Konstelasi atau rasi bintang adalah kenampakan bintang-bintang di langit yang sebenarnya tidak berdekatan tetapi karena sudut pandang nampak berdekatan saat dilihat dari bumi. Semakin menjauh dari bumi, patokan arah yang biasa kita gunakan di bumi tidak dapat digunakan lagi. Untuk perjalanan menjelajah angkasa di tata surya kita yang perbedaan jaraknya dari bumi relatif dekat bila dibandingkan dengan dengan jarak bintang-bintang yang teramati dalam konstelasi, peta bintang yang kita gunakan sekarang ini mungkin masih bisa digunakan. Meski terdapat perubahan letak bintang-bintang, arah bintang-bintang tersebut tidak terlalu jauh berbeda.
Semakin jauh arah penjelajahan kita dari bumi, misal ke salah satu dari 3537 (data 1 November 2016[3]) eksoplanet yang telah ditemukan sejauh ini, eksoplanet seukuran bumi yang mengorbit bintang terdekat dari bumi, Proxima Centauri [4], peta bintang kita tidak akan dapat digunakan lagi karena posisi kita yang telah berubah dari posisi pengamatan bintang-bintang yang ada pada rasi bintang yang dinyatakan secara 2 dimensi. Peta tiga dimensi yang diperoleh dari data seperti data dari Interferometer Astrometri Global untuk Astrofisika GAIA (Global Astrometric Interferometer for Astrophysics), akan lebih cocok digunakan untuk penjelajahan seperti ini. GAIA yang bertujuan untuk melakukan survey pemetaan 3D terlengkap dari Galaksi Bima Sakti kita, telah berhasil memetakan jarak dan kecepatan jutaan bintang di galaksi kita untuk meningkatkan akurasi pengamatan bintang dari bumi tanpa efek paralaks dari revolusi bumi dan untuk mengetahui ukuran sebenarnya dan gravitasi (komposisi, formasi, dan evolusi) dari galaksi kita.
Meski bukan bertujuan untuk navigasi antarbintang, pemetaan yang diperoleh oleh Gaia yang telah berhasil memetakan hingga 1,142 miliar bintang sejauh ini, 1% dari perkiraan jumlah bintang di Galaksi Bima Sakti. Pemetaan yang dilakukan oleh GAIA telah mencakup jarak sejauh 4800 tahun cahaya dengan akurasi hingga 300 mikrodetik busur sudah merupakan perkembangan yang sangat pesat dari astrometri yang dilakukan oleh Hipparcos (1989-1993) yang berhasil memetakan 117.955 bintang hingga jarak lebih dari 1600 tahun cahaya dengan akurasi 1 milidetik busur [5]. Hasil ini sangat berguna untuk mengetahui posisi sebuah bintang terhadap bumi atau
terhadap bintang lain.
Pengamatan di Tata Surya
Tidak perlu pergi jauh-jauh pergi menjelajahi eksoplanet atau planet luar surya, objek-objek di tata surya sendiri sudah merupakan obyek yang sangat menarik untuk diamati dan lebih mungkin untuk dijelajahi dalam waktu dekat. Dari planet-planet terrestrial mirip bumi (Merkurius, Venus, Mars), planet raksasa gas (Jupiter, Saturnus, Uranus), planet minor dan objek sabuk Kuiper yang dilapisi es (Ceres. Pluto, Haumea, Makemake, Eris, dan calon-calon planet minor lain), asteroid di sabuk asteroid, komet yang memiliki orbit yang sangat elips, belum termasuk satelit-satelit yang mengitari planet-planet di tata surya yang berbeda-beda kondisinya meskipun mengitari planet yang sama, banyak misteri yang belum terkuak mengenai sejarah, komposisi, dan geologi objek-objek tersebut. Beberapa objek di tata surya kita telah berhasil dipetakan secara global dengan resolusi bervariasi, dengan resolusi tertinggi mencapai hampir 100 meter per piksel (bulan), dan fitur-fitur pada permukaan objek-objek tersebut telah diberi nama, termasuk Mars, bulan, dan Merkurius dengan kawah-kawah mereka, asteroid seperti 243 Ida, (243) Ida I Dactyl , 951 Gaspra, 253 Mathilde, dan 433 Eros, komet seperti 67P/Churyumov–Gerasimenko yang diamati oleh Rosetta dan dijelajahi oleh pendarat Philae, dan planet-planet gas dan satelit-satelitnya seperti Saturnus dan salah satu satelitnya, Titan, yang diamati oleh Cassini-Huygens [6][7].

Pluto (space.com)
Pertengahan tahun 2015 yang lalu kita mendapati berita tentang pesawat luar angkasa New Horizons yang sukses melakukan penerbangan lintas (flyby) ke planet minor Pluto [8] setelah melakukan perjalanan lebih dari sembilan tahun dari bumi. Dari penerbangan lintas ini, kita dapat memperoleh peta dari permukaan kedua obyek, memperlihatkan fitur-fitur seperti Dataran Spatia (Spatia Planum), bentuk seperti hati yang ada pada permukaan Pluto. Dengan penelitian tersebut kita dapat mengetahui komposisi Pluto: metana (CH4 ), nitrogen (N2 ), karbonmonoksida (CO), dan es (H2O). Hasil pengamatan yang menampakkan Pluto yang memiliki dataran yang cukup muda dan tanpa kawah, sangat jauh berbeda dari Pluto yang kita ketahui sebelum tahun 2015 yang hanya merupakan objek samar di kamera. Informasi yang didapat dari ekspedisi ini, tentu saja sangat penting selain untuk ilmu pengetahuan, juga untuk perencanaan ekspedisi ke Pluto dan objek-objek lain di tepi tata surya kita.
Selain melakukan pengamatan tentang Pluto dan satelit-satelitnya, Charon, Styx, Nix, Kerberos, dan Hydra, New Horizons yang diluncurkan pada tahun 2006 ini telah melakukan terbang lintas Jupiter untuk memperoleh bantuan gravitasi untuk mengubah jalur dan kecepatan, (gravity boost) dan melakukan studi mengenai Jupiter dan 4 satelit Galilean yang difokuskan pada Io, satelit yang memiliki gunung berapi aktif pada permukaannya [9]. New Horizons dan dijadwalkan akan melakukan terbang lintas untuk objek Sabuk Kuiper 2014 MU 69 di tahun 2019, melebarkan cakupan pengamatan yang kita lakukan di tata surya kita.
Pengamatan di Bulan dan Planet-Planet Dalam
Karena jarak yang relatif lebih dekat dari bumi, planet-planet dalam, merupakan objek-objek yang telah dan sedang diamati secara intensif. Selain meluncurkan pesawat yang mengorbit planet-planet tersebut, pengamatan juga dilakukan secara langsung di permukaan planet dengan menggunakan pendarat, baik pendarat robot (rover) maupun pendarat statis (lander). Peta permukaan saja tidaklah cukup untuk memastikan keberhasilan pendaratan pesawat-pesawat tersebut. Dibutuhkan informasi-informasi lain seperti topografi, atmosfer, dan cuaca untuk mendukung perencanaan misi. Pengukuran dengan berbagai instrumen telah dapat mengungkap gravitasi, geologi, dan komposisi atmosfer, dari objek-objek ini.
Untuk mengetahui data topografi, menentukan dengan akurat tinggi Olympus Mons, titik tertinggi di Mars, atau kedalaman Antoniadi, kawah terdalam di bulan, metode yang digunakan sama, menggunakan altimeter laser atau radar yang ditembakkan secara periodik dari pengorbit. Data topografi menggunakan metode ini telah diperoleh untuk Merkurius menggunakan MLA (Mercury Laser Altimeter), Venus dengan RDRS (Radar System), Mars dengan MOLA (Mars Orbiter Laser Altimeter), bulan dengan LOLA (Lunar Orbiter Laser Altimeter), hingga asteroid seperti asteroid 433 Eros (Laser Rangefinder pada NEAR Shoemaker). [10]
Data topografi membuat informasi penjelajahan tidak hanya diperoleh dalam dua dimensi, bujur dan lintang, saja, tetapi juga informasi tiga dimensi. Kita dapat mengetahui dengan lebih akurat tinggi gunung-gunung di tata surya dan kedalaman kawah-kawah, menentukan daerah-daerah yang relatif datar untuk pendaratan pendarat dan untuk penjelajahan robot beroda.
Di bumi, sebelum menggunakan Sistem Pemosisi Global GPS (Global Positioning System), sistem navigasi global yang memanfaatkan 31 satelit yang mengitari bumi di orbit medium bumi MEO (Medium Earth Orbit) [11] kita dapat mengetahui arah di permukaan bumi dengan menggunakan kompas untuk mendapatkan arah utara dan
selatan kutub magnet bumi. Di Venus yang tidak memiliki sistem kemagnetan, di bulan yang sistem kemagnetannya sangat lemah atau di Mars yang hanya memiliki sisa sisa kemagnetan di mantelnya, sistem navigasi menggunakan kompas seperti ini tidak dapat digunakan. Kompas di Mars, tidak akan dapat digunakan karena akan menunjuk lokasi-lokasi yang memiliki sisa kemagnetan dan kompas di bulan akan berotasi secara acak [12].

Prinsip kerja stereofotogrametri (luxcarta.com)
Selain menggunakan fotogrametri stereo menggunakan sepasang kamera untuk menentukan posisi lokal secara tiga dimensi, dengan bantuan satelit-satelit yang mengorbit planet dan dengan menggunakan UnitPengukuran Inersia IMU (Inertial Measurement Unit) dengan giroskop dan akselerometer [13], pendarat berobot seperti Curiosity dapat menentukan posisinya secara global. Dengan menyesuaikan dengan peta topografi, metode seperti ini dapat digunakan untuk mengetahui posisi dan merencanakan perjalanan misi-misi robot di permukaan Mars dan di permukaan benda-benda langit lain di masa depan.
Penjelajahan ke Mars
Selain bulan, satelit alami kita yang telah dijelajahi oleh astronot, planet-planet kebumian adalah objek-objek luar angkasa yang paling dimungkinkan untuk dijelajahi saat ini menggunakan pesawat luar angkasa takberawak yang mengorbit (orbiter), pendarat, dan pendarat berobot, dan misi manusia (manned mission) yang dapat direncanakan dalam waktu yang cukup dekat. Perjalanan manusia ke Mars bahkan sudah diprediksi untuk terjadi beberapa belas atau puluh tahun lagi. Untuk merencanakan misi-misi penjelajahan, informasi-informasi yang didapatkan oleh
satelit-satelit yang diluncurkan ke Mars semenjak Mariner 4 di tahun 1965 sangat penting untuk memastikan keberhasilan misi.
Lima puluh tahun dari Mariner 4, saat tulisan ini dibuat, terdapat 8 misi yang sedang aktif beroperasi di Mars [14]. Dengan panjang harinya yang mirip bumi (24,623 jam), kemiringan sumbu rotasi yang menyebabkan perubahan iklim (25,19 derajat), dan kemungkinan keberadaan air dalam bentuk cairan 3,5 miliar tahun yang lalu, Mars, sebagai planet kedua terdekat setelah Venus adalah planet yang lebih mirip bumi dibandingkan dengan planet-planet lain di tata surya kita [15]. Ketertarikan ilmiah pada planet ini sangat wajar, mengingat planet ini adalah salah satu planet yang paling mungkin didatangi dan ditinggali oleh manusia.
Dengan pengorbit yang cukup banyak jumlahnya mengitari Mars, banyak informasi yang menarik yang berhubungan dengan planet ini yang telah diperoleh, dari topografi, geologi, mineral, komposisi atmosfer, siklus air, gravitasi, kemagnetan, komponen organic, dan lain sebagainya.
Air sangat dibutuhkan untuk fungsi-fungsi dasar tubuh manusia, oleh karena itu, tidak heran bahwa selain mencari oksigen (O2), penelitian manusia di luar angkasa juga difokuskan pada penemuan air dalam bentuk cairan. Penjelajahan di kutub Mars sangat menarik untuk dilakukan, mengingat keberadaan es (H2O), selain juga es (CO2) yang terdapat di kedua kutub Mars saat kutub-kutub tersebut mengalami musim dingin, dan menyublim saat kutub-kutub tersebut mengalami musim panas.
Karena kemiringan sumbu rotasinya, seperti bumi, Mars juga mengalami 4 musim. Di Mars, musim ditentukan menggunakan bujur matahari Ls (Solar Longitude) dan bukan jumlah hari Mars (sol) karena orbitnya yang lebih elips bila dibandingkan dengan bumi, sehingga panjang setiap musim berbeda-beda. Di titik terdekat (perihelion), kutub utara Mars mengalami musim dingin yang pendek dan relatif lebih hangat dibandingkan musim dingin yang dialami oleh kutub selatan Mars di titik terjauh (aphelium) yang lebih dingin dan lebih panjang [16].
Sayangnya untuk saat ini daerah-daerah yang sangat dingin seperti kutub Mars yang temperaturnya mencapai -153 °C, bahkan misi robotik pun belum mampu untuk melakukan penjelajahan ke lokasi-lokasi tersebut mengingat pada temperatur tersebut CO2 telah membeku menjadi es kering (dry ice), mampu merapuhkan lapisan pelindung yang diberikan pada pendarat dan merusakkan panel surya.
Misi pendaratan ke Mars yang paling tinggi lintangnya adalah misi Phoenix, yang mendarat di koordinat 68.218830°N 234.250778°E, melakukan pengamatan dan melakukan pengukuran suhu yang berkisar antara −19.6 °C hingga −97.7 °C [17]. Meskipun begitu, terdapat pula daerah-daerah yang memiliki es atau air yang bersifat sementara (transien) di lintang-lintang rendah dan bertopografi relatif datar [18]. Lokasi-lokasi tersebut adalah lokasi-lokasi yang sesuai untuk penjelajahan planet yang mayoritas atmosfernya terdiri dari CO2 ini.
Salah satu masalah yang dihadapi di Mars untuk misi robotik adalah adanya badai debu di Mars. Kebanyakan misi pesawat luar angkasa menggunakan energi surya sebagai sumber utama energi pendarat dibandingkan dengan pembangkit energi berbasis plutonium seperti Pembangkit Termoelektrik Radioisotop RTG (Radioisotope Thermoelectric Generator) atau MMRTG (Multi-Mission Radioisotope Thermoelectric Generator) [19], selain karena alasan lingkungan, juga karena produksi Plutonium-238 yang terbatas. Meski karena atmosfer yang tipis, badai debu di Mars tidak sampai dapat menyebabkan kerusakan pendarat-pendarat tersebut, badai debu yang sangat tebal ini akan menghambat penerimaan energi matahari pada panel surya, sehingga pengetahuan mengenai cuaca dan iklim Mars dan objek-objek lain sangat penting untuk berjalannya misi-misi penjelajahan yang memanfaatkan robot beroda dan instrument bertenaga surya.

Mars (ESA)
Dengan menggunakan data dari stasiun pengamat lingkungan REMS (Rover Environmental Monitoring Station) pada pada pendarat robot Curiosity, misalnya, saat ini kita dapat meramalkan cuaca di Mars dalam hitungan akurasi hari.[20] Bila kita menginginkan misi jangka panjang apalagi merencanakan kemungkinan pemukiman di Mars, bukan hanya cuaca, pengetahuan iklim juga sangat penting.
Sejauh ini pengamatan iklim di Mars selama 2,5 tahun Mars (Martian Year), yang kurang lebih sesuai dengan 4,7 tahun di bumi memperlihatkan bahwa iklim di Mars mengalami perulangan yang lebih mudah diprediksi daripada iklim di bumi dan dapat dimodelkan, masih banyak penelitian yang dapat dilakukan untuk meningkatkan akurasi model yang digunakan untuk planet Mars.[21]
Perkembangan teknologi pengamatan luar angkasa saat ini berkembang begitu pesat. sebelumnya kita hanya dapat memetakan permukaan bulan yang selalu menghadap ke bumi dan mengamati cincin Saturnus dengan menggunakan teropong. Dengan informasi yang diperoleh oleh pesawat luar angkasa saat ini, kita dapat mengamati bongkah batu sebesar 2 meter di Mars[22], mencitrakan aurora yang nampak di Jupiter[23], menempatkan pesawat luar angkasa bertenaga matahari mengorbit Jupiter [24], memetakan galaksi Bima sakti, dan mendaratkan robot di komet. Teknologi akan terus berkembang, resolusi instrument yang meningkat akan menghasilkan akurasi dan presisi yang lebih tinggi. Akan semakin banyak lagi penemuan-penemuan yang dicapai oleh misi-misi luar angkasa, menyelesaikan dengan lebih mudah lika liku yang masih membebani misi luar angkasa saat ini, menjadi dasar dan mendukung kesuksesan penjelajahan antariksa di esok hari.
Posted on December 3, 2016, in Learning, Spacing, Teaching and tagged artikel, bahasa indonesia, esai, koordinat, penjelajahan. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0